Tuesday, June 5, 2007

Tujuh Hari Di Tanah Papua Bersama Canon Gideon Byamugisha


Nama lengkapnya adalah Gideon Baguma Byamugisha. Beliau adalah seorang pendeta dari Uganda, Afrika yang untuk pertama kalinya berani memproklamasikan diri sebagai pengidap HIV pada tahun 1992. Keberaniannya dalam memecah kebisuan di tengah pandangan negatif terhadap penderita HIV dan AIDS telah mengukir tonggak sejarah keberhasilan negara Uganda dalam menekan penyebaran virus yang mematikan ini selama lebih dari 10 tahun terakhir serta membawanya ke lebih dari 40 negara dalam upaya mendobrak stigma, memerangi rasa malu, mengatasi penyangkalan diri, menghentikan diskriminasi, menggugah ketidakpedulian serta memperbaiki penanganan yang salah terhadap penyakit yang masih saja dianggap sebagai kutukan dan hanya menyerang kelompok orang berperilaku amoral ini. Dengan strategi andalannya SAVE (Safer practices, Access to treatment, Voluntary counseling and testing dan Empowerment), penanganan kasus HIV dan AIDS dapat dilakukan secara terpadu dan menyeluruh serta membuahkan hasil yang optimal.

Penyandang tiga gelar dalam bidang pendidikan dan teologi (BA, BD dan MA) yang saat ini memegang jabatan sebagai Canon (setingkat di bawah Bishop) di sebuah Gereja Anglican di Uganda ini telah menjadi inspirasi bukan hanya bagi lingkungan Gereja, tapi juga institusi pendidikan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat serta organisasi kemasyarakatan dan keagamaan lainnya dalam pergumulan mengahadapi masalah HIV dan AIDS. Kehadirannya di Indonesia selama 17 hari sejak tanggal 4 – 20 Mei 07 yang lalu juga merupakan berkat tersendiri bagi negara kita, terlebih lagi bagi tanah Papua, di mana sebagian besar waktu pelayanan beliau dihabiskan di tempat yang prevalensi kasus HIV dan AIDS-nya menempati urutan pertama di Indonesia itu. Merupakan sebuah pengalaman spiritual yang sangat berharga mendampingi beliau selama 7 hari dalam perjalanan misi “Memecah Kebisuan Terhadap HIV dan AIDS di Tanah Papua”.

Sepintas lalu, kita tidak pernah menyangka bahwa seorang pendeta yang mampu berkhotbah, berceramah dan mengajar dari pagi sampai malam hari selama seminggu penuh dengan semangat yang besar dan konsisten itu adalah seorang yang hidup dengan HIV selama lebih dari 15 tahun. Saya bertanya apakah beliau tidak pernah merasa lelah dan beliau menjawab,”Rasa lelah itu ada, tapi selama pekerjaan belum selesai tidak boleh berhenti. Akan tiba saatnya ketika pekerjaan telah selesai, ketika kaki melangkah pulang ke rumah dan ketika tubuh terhempas di atas pembaringan, saat itulah baru boleh berkata betapa lelah rasanya. Namun rasa lelah ini tidak sebanding dengan berlimpahnya sukacita karena hati Tuhan boleh disenangkan dengan segala pekerjaan baik yang telah dilaksanakan.”

Dalam setiap kesempatan pertemuan dengan pemerintah setempat, DPRD, Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS, Gereja dan jemaatnya, tokoh masyarakat dan agama maupun pemuda dan kelompok ODHA, beliau selalu menekankan 5 langkah kunci keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu: informasi yang akurat, perubahan sikap, pelatihan, pelayanan dan lingkungan yang mendukung.

Penyampaian informasi yang akurat tentang HIV dan AIDS kepada semua lapisan masyarakat merupakan langkah penting pertama dalam memerangi penyakit ini. Penjelasan beliau tentang perilaku yang “Benar vs Tidak Benar” dan “Aman vs Tidak Aman” telah membuka mata banyak kalangan bahwa penyakit yang mematikan ini bisa saja menyerang “orang benar” yang berperilaku “tidak aman”. Sebaliknya tidak semua orang yang berperilaku “tidak benar” bisa terserang penyakit ini bila mereka melakukannya dengan cara yang “aman”. Paradigma ini juga sekaligus mempertemukan cara penanganan kasus HIV dan AIDS yang kontroversial selama ini, di mana ada pihak yang memperjuangkan penanaman perilaku yang “benar” sebagai satu-satunya cara dalam mengendalikan penyakit ini, sementara pihak lain fokus pada praktek-praktek yang “aman”. Sebagai contoh saat ini penggunaan kondom sebagai cara pengendalian kasus HIV dan AIDS masih dipertentangkan di kalangan umat beragama. Sebenarnya, kondom hanyalah sebagian kecil saja dan bukanlah satu-satunya cara penanggulangan penyakit ini. Kondom adalah alat pencegahan penularan yang bersifat netral. Kondom tidak menjawab pertanyaan tentang perilaku “benar” atau “salah”, karena itu tergantung kepada siapa yang menggunakan, dengan siapa dan dalam lingkup apa aktifitas seksual dilakukan. Tetapi kondom menjawab persoalan tentang perilaku yang “aman” atau “tidak aman”. Kalau kondom tidak bisa menahan orang dari dosa “perzinahan”, minimal ia dapat menahan orang dari dosa “pembunuhan” akibat penularan virus mematikan ini. Sebenarnya kedua pendekatan ini tidak perlu dipertentangkan dan malah harus berjalan selaras menuju satu tujuan, menciptakan suatu komunitas yang berperilaku “benar” dan “aman”.


Namun demikian, penyebaran informasi saja tidak cukup untuk mengendalikan penyakit ini. Masyarakat yang telah mendapatkan informasi perlu disadarkan bahwa HIV dan AIDS bukanlah penyakit yang terisolir di sebuah pulau terpencil yang jauh, namun sudah ada di tengah-tengah kehidupan mereka dan menjadi ancaman terselubung yang bisa menyerang setiap saat. Sebuah kuesioner sederhana yang terdiri dari 12 pertanyaan pengkajian diri terhadap resiko penularan telah sangat menolong berbagai kelompok dalam mengubah sikap dan cara pandang terhadap penyakit ini. Banyak pihak mengakui setelah melakukan latihan ini baru menyadari bahwa saat ini pada umumnya setiap orang berisiko untuk tertular penyakit ini karena cara penularannya bukan hanya melalui aktivitas seksual saja, namun juga melalui kontak darah (jarum suntik, transfusi darah dan alat tembus kulit lainnya) serta dari ibu ke anak (selama kehamilan, persalinan dan menyusui). Kesadaran ini mendorong mereka yang berada dalam kelompok berisiko bertekad untuk secara sukarela melakukan tes HIV.

Langkah selanjutnya adalah melatih kelompok-kelompok masyarakat agar terampil dalam menerapkan cara pencegahan terhadap penularan penyakit ini. Kelompok pemuda perlu dilatih bagaimana cara mempertahankan abstinensi seksual sampai usia yang pantas dalam lingkup pernikahan. Kelompok keluarga perlu dilatih bagaimana mempertahankan kesetiaan pada pasangan. Kelompok berisiko perlu diajarkan keterampilan menggunakan kondom secara benar dan konsisten. Kelompok medis perlu diperlengkapi dengan keterampilan pencegahan penularan selama tindakan berisiko. Kelompok ODHA perlu dilengkapi dengan keterampilan untuk memutus rantai penularan, baik terhadap pasangan maupun keturunannya serta bagaimana meneruskan kehidupan dengan optimis.

Pelayanan kesehatan juga memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dalam pengendalian penyakit ini. Kesiapan laboratorium dalam pemeriksaan HIV lengkap dengan konselingnya, kecukupan tenaga kesehatan, ketersediaan obat, kebijakan kesehatan yang baik serta memadainya anggaran kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah yang perlu didukung oleh semua pihak. Untuk itu pemerintah perlu melakukan penanganan yang multi level, multi sektor dan multi dimensi. Kisah Nabi Nehemia yang mengakomodir seluruh potensi masyarakat dengan berbagai senjata yang mereka miliki untuk mengatasi masalah yang sudah lama menimpa bangsa Israel merupakan contoh baik bagi kebijakan pemerintah untuk melibatkan berbagai dinas instansi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, kelompok ODHA serta kelompok mayarakat lainnya.

Langkah terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah upaya menciptakan lingkungan yang mendukung. Dalam lingkungan yang mendorong setiap orang untuk tidak takut melakukan tes HIV, mengasihi dan tidak men-stigmatisasi ODHA serta tidak memberi kesempatan bagi pertumbuhan perilaku yang negatif, maka kasus HIV dan AIDS bisa dikendalikan dengan baik. Beliau bersaksi, kalau saja pada tahun 1998, ketika beliau hampir meninggal akibat berbagai infeksi oportunistik yang menyerang tubuhnya, tidak ada yang peduli, maka mungkin beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Namun, syukur kepada Tuhan, Bishop beliau memperjuangkan upaya pengobatan kepada menteri kesehatan, institusi kesehatan berjuang keras menangani setiap penyakit yang ada dan seluruh keluarga mendukung dengan penuh kasih sayang sehingga dalam waktu 2 tahun, kesehatan beliau pulih kembali dan bisa melayani sampai saat ini.

Bagi seorang tokoh internasional sekaliber Rev Gideon, mau merendahkan diri untuk didoakan oleh sekompok anak muda yang mengklaim mendapat panggilan dari Tuhan untuk menyembuhkan beliau secara Illahi melalui doa menunjukkan sikap keterbukaan yang mengagumkan. Pelayanan yang diterima beliau di Kota Jayapura selama 3 hari berturut-turut ini justru menghasilkan pembelajaran yang sangat baik bagi kita dalam memandang hidup. Di malam terakhir pelayanan mereka, Rev Gideon mengungkapkan sebuah rahasia kekuatannya menjalani hidup selama ini. Bagi beliau, meninggalnya istri pertamanya pada tahun 1991 akibat AIDS serta positifnya tes HIV yang beliau jalani merupakan suatu pukulan berat dalam kehidupannya. Sebagai orang tua tunggal yang pesakitan, harus mengurus bayi perempuan berusia 9 bulan, menghadapi tatapan jemaat terhadap pendeta yang mengidap HIV serta kehilangan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan PhD bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Beliau bergumul bagaimana mungkin seorang Kristen yang sudah lahir baru, apalagi keluarga seorang pendeta bisa terinfeksi virus ini. Ketika beliau mengingat kembali segala peristiwa yang pernah dilalui, beliau menemukan bahwa segala kemungkinan jalur penularan bisa saja terjadi. Mungkin saja hubungan seks menjadi jalur penularan karena ketika menikah baik beliau maupun almarhum istri tidak pernah melakukan tes HIV. Melalui kontak darah mungkin juga karena beliau pernah menerima transfusi darah dan berulang-ulang mendapatkan pengobatan malaria melalui injeksi yang sterilitas alat suntiknya tidak terjamin waktu itu.

Namun sejalan dengan perkembangan waktu, beliau makin menyadari ada rencana Tuhan yang indah di balik semua peristiwa ini. Keputusannya untuk menerima kenyataan diri dan menyerahkan sisa hidup secara total bagi pekerjaan Tuhan merupakan sebuah kunci awal kesuksesan dalam memaknai hidup. Melalui penyakit ini, beliau menghayati benar apa yang Rasul Paulus maksudkan dengan “Hidup adalah untuk Kristus dan mati adalah keuntungan”. Bagi beliau, hidup atau mati bukanlah yang utama, namun yang lebih penting adalah apa yang kita isi dalam hidup yang singkat ini. Kalau Tuhan menghendaki, penyakit mematikan ini bisa saja dilepaskan secara Illahi dari tubuhnya, tetapi apakah ini yang terpenting? Apakah ini yang dikehendaki Tuhan? Apakah segala sesuatu akan menjadi lebih baik jikalau yang terjadi adalah apa yang menurut pandangan kita baik? Tuhan Yesus memohon 3 kali agar cawan penderitaan lalu dari padanya, tetapi jika ini yang terjadi apakah urusan dosa manusia bisa selesai? Yohanes Pembaptis ditangkap dan dipenjara, mungkin merasa kecewa karena Yesus tidak datang membebaskannya, malah hidupnya berakhir dengan hukuman penggal kepala. Namun sebelum kematian menjemput, imannya kepada Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan benar-benar tertanam dalam hatinya ketika murid-muridnya kembali ke penjara setelah bertemu Tuhan Yesus dengan jawaban,”pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik”. Dan kalau saja ketika Rasul Paulus memohon agar Tuhan mengangkat duri dalam dagingnya, Tuhan mengabulkan permintaannya, apakah ia akan mendapatkan pengalaman merasakan kuasa Tuhan justru di dalam kelemahannya? Kita sering meyakini bahwa kita baru akan bahagia jikalau kita begini dan begitu, padahal tidak semua yang kita pikirkan adalah yang terbaik menurut rencana Tuhan. Maka sudah waktunya kita merubah cara berdoa kita yang egosentris selama ini menjadi: “Bukan kehendakku, ya Bapa, tapi biarlah kehendakMu yang jadi”.

Mengenai mujizat, beliau mengajak kita untuk melihatnya melalui sudut pandang yang benar. Banyak orang menyangka bahwa mujizat adalah sesuatu yang hanya bersifat spektakuler: orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, sakit kanker diangkat dari tubuh, penderita HIV sembuh tanpa obat. Tidak salah, tapi mujizat lebih dari sekedar fenomena spektakuler seperti itu. Pengetahuan tentang natur virus, cara penularan, perjalanan penyakit, pengobatan serta cara pencegahannya telah diberikan Tuhan kepada kita melalui para ilmuwan bukankah merupakan sebuah mujizat yang Tuhan sudah nyatakan untuk kita pergunakan dalam melawan penyakit ini? Ketahanan beliau selama lebih dari 15 tahun hidup bersama HIV dengan pengobatan yang teratur apakah bukan merupakan sebuah mujizat, mengingat penderita AIDS biasanya hanya bisa bertahan hidup selama 2-3 tahun? Kehadiran keluarga, Gereja dan pemerintah yang mendukung kehidupannya dan tetap mengasihinya dalam keadaan sebelum maupun sesudah beliau terinfeksi HIV bukankah juga merupakan sebuah mujizat di tengah-tengah maraknya stigmatisasi masyarakat terhadap ODHA? Penemuan metoda pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang diterapkannya bersama istri keduanya yang juga pengidap HIV dan melahirkan 2 orang putri cantik yang bebas HIV juga merupakan mujizat yang beliau alami. Mujizat Tuhan berikan atas suatu maksud yang lebih dari sekedar mujizat itu sendiri. Mujizat tidak harus selalu berupa sesuatu yang spektakuler. Mujizat terjadi bukan atas kehendak kita, melainkan atas kehendak Tuhan.

Beliau juga mengingatkan kita akan arti mengasihi. Bagaimana mungkin seorang mengatakan mengasihi Allah tapi membenci, menelantarkan bahkan membuang saudaranya yang menderita HIV dan AIDS. Dengan mengasihi mereka yang terbuang, kita akan menolong mereka untuk mengasihi sesamanya yang selanjutnya akan membangun lingkungan yang aman bagi kita semua. Pengidap HIV yang sakit hati akan dipenuhi dengan upaya membalas dendam kepada orang lain, tapi mereka yang belajar menerima kenyataan dan mengasihi diri akan lebih mudah dikasihi dan melindungi orang lain yang dikasihinya dari penularan selanjutnya. Sudah waktunya kita menyatakan kasih kita kepada Tuhan melalui bukti nyata kasih kita kepada sesama.

Kunjungan Rev Gideon di Tanah Papua telah membuka lembaran baru bagi upaya memerangi kasus HIV dan AIDS yang menjadi ancaman bagi generasi anak cucu kita. Kesaksian beliau sangat melekat di hati banyak orang, menumbuhkan pengaharapan bagi kelompok ODHA, mengilhami para pemimpin, meluruskan jalan pikiran yang salah dan mendorong partisipasi aktif semua pihak. Tidak heran masyarakat Papua menganugerahi beliau dengan nama kehormatan “Sampari” yang artinya “Bintang Fajar”. Kiranya pengalaman dan pemikiran yang beliau bagikan akan menjadi modal yang baik dalam upaya kita bersama dalam menanggulangi HIV dan AIDS di tanah air kita yang tercinta.
(diceritakan oleh Candra Wijaya)

No comments: