Monday, November 26, 2007

Taneus dan Demina: “Minim dialog namun sangat inspiratif !”





Sehabis menonton premiere show film “Tadeus dan Demina” setidaknya hal itulah yang terlintas di benak saya. Pulang nonton saya pikir saya harus segera menuliskan apa yang ada di benak saya. Selama ini banyak orang bingung, strategi pencegahan apakah yang cocok untuk daerah pegunungan seperti Wamena dan sekitarnya? Malam ini setidaknya sekitar seribuan penonton sepakat: “Hei, ini film bagus ! Saya jadi mengerti tentang bahaya HIV dan AIDS”.
Menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh tiap tanggal 1 Desember, banyak orang kembali diingatkan sudah berapa banyak korban yang jatuh di tanah Papua yang tercinta ini. Mungkin banyak Taneus-Taneus dan Demina-Demina yang lain yang sudah terkapar terlebih dahulu lama sebelum film ini dibuat.
Cerita diawali dengan seorang Taneus yang baru saja tamat SMP (tadinya saya ingin memberi saran sebaiknya pemeran Taneus mencukur dulu cambang dan kumis sewaktu memerankan sebagai anak SMP, namun setelah saya pikir-pikir memang begitulah kondisi yang terjadi di daerah pegunungan di Papua, Jadi? Oke-oke sajalah kalau Taneus tetap bercambang dan berkumis walau baru lulus SMP) mau melanjutkan ke SMU. Sebelumnya kedua orang tuanya berdiskusi sebelum Taneus datang. Hendak kemana Taneus ini dikirim untuk bersekolah? Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mengirimkan Taneus ke Wamena. Hal ini ditanyakan juga pada Taneus dan Taneus menjawab yang sama bahwa ia ingin bersekolah di Wamena karena SD dan SMP sudah dia habiskan di kampungnya (Pyramid kah?). Beberapa kekurangan terasa di bagian dialog kedua orang tua Taneus. Beberapa terjemahan tidak muncul padahal saya yakin semua penonton ingin menyimak apa yang mereka bicarakan (akhirnya saya jadi nggak yakin juga setelah melihat sekeliling ternyata hampir semua penonton paham apa yang mereka bicarakan. Wah saya sepertinya harus mulai belajar bahasa lembah!).

Berbekal sedikit uang, sebuah nenas dan seekor kelinci, Taneus akhirnya berangkat. Kepergiannya ke Wamena dilepas oleh kekasihnya Demina. Dengan berat hati Demina melepas kepergian Taneus. Di dalam taksi (begitu biasanya orang di Wamena menyebut angkot) ada beberapa penumpang yang bertanya pada Taneus hendak buat apa di Wamena. Taneus menjawab hendak lanjut sekolah. Beberapa penumpang menjawab mungkin sudah terlambat karena pendaftaran kebanyakan SMU sudah tutup. Sayang hal ini tidak digali lebih lanjut. Namun ini memberikan secuil ide segar bagi kita tentang dunia pendidikan di balik gunung sana.

Taneus tiba di Pasar Jibama. Suasana pasar terlihat ramai. Jelas kameraman ingin meliput sesuatu di sini (apakah Taneus menjual kelincinya di sini? Mungkin juga...he..he..he). Pemandangan beralih ke toko-toko di pinggir jalan. Taneus melihat ke secarik kertas (dapat dari mana ya kertas itu?) ada tulisan ”Asrama Mandiri”. Taneus harus ke sana. Sayang kita tidak tahu asal muasalnya sehingga Taneus harus ke sana.

Pemandangan beralih ke Asrama Mandiri (thanks to Wahana Visi Indonesia). Taneus bertemu dengan seseorang (mungkin kepala asrama?) yang langsung menyambutnya dengan baik. Taneus dengan cepat memperoleh teman yang akhirnya membantunya mendaftar ke SMU YPPK St. Thomas. Teman ini dalam cerita itu adalah anak Asrama Mandiri. Paling tidak terbukti anak-anak didikan WVI memang bukan anak-anak sembarang melainkan suka menolong bagi yang membutuhkan. Keesokan harinya Taneus bersama teman barunya mendaftar ke SMU tersebut. Dengan niat belajar yang besar yang dimiliki Taneus, akhirnya ia diterima di sekolah tersebut walau sebenarnya sudah terlambat mendaftar.

Suasana beralih ke hari-hari Taneus menjalani sekolahnya. Seorang gadis manis ternyata naksir dengan Taneus (saya lupa nama gadis itu, maaf yo...eh saya ingat namanya Merry). Akhirnya mereka berpacaran. Kemudian Taneus ternyata jatuh dalam pergaulan yang tidak sehat. Taneus mulai minum-minum dan bermabuk-mabukan bersama geng mabuknya. Si gadis sendiripun ternyata bukanlah gadis baik-baik melainkan gadis yang sering ”menumpang mobil berkaca gelap”. Inilah gambaran di Wamena saat ini. Dengan banyaknya mobil-mobil (mau plat merah atau plat hitam atau kuning sama saja..) banyak pula bermunculan PSK terselubung. Bahasa LSM yang bergerak di HIV/ AIDS adalah PSK tidak langsung. Biasanya pelajar dan tentunya perempuan. Lelaki yang memakai jasa mereka biasanya sudah berumur, biasanya pagi sampai siang adalah orang baik-baik dan biasanya juga (kok biasa terus sih..) sering memakai jas (mengertilah...yang pasti bukan jas hujan). Sayang hal inipun nggak dibahas secara lebih lanjut (mungkin ini yang bikin bung BM diinterogasi 15 jam?).

Gadis itu turun dari mobil. Seorang laki-laki dari geng mabuk mendekati gadis itu dan menggodanya. Taneus muncul di saat yang tepat. Ternyata yang menggoda itu teman mabuk Taneus juga. Taneus dan si gadis ikut minum bersama geng mabuk. Sesaat kemudian Taneus dan si gadis pergi. Tak lama kemudian Taneus kembali. Teman-teman mabuk Taneus Cuma bisa menggoda Taneus, ”Aih ko cepat sekali...”. Saya rasa pembaca mengerti apa maksudnya toh?

Malam harinya Taneus ditemukan teman seasramanya tergeletak di depan sebuah toko. Pagi harinya tiba-tiba Taneus sudah bangun dan menangis. Teman yang tidur di tempat tidur di sampingnya bangun. Taneus mengungkapkan rasa penyesalannya jatuh dalam pergaulan yang tidak benar. Oleh temannya Taneus langsung dikasih ayat Alkitab (hebat ya anak Asrama Mandiri, hapal ayat Alkitab..). Hari-hari selanjutnya tampak Taneus rajin beribadah di salah satu gereja sponsor ehm..ehm.. (GKII Efata).

Enam bulan kemudian Taneus mulai sakit. Terlihat parah. Menurut saya sebaiknya jangan dibuat terlihat parah. Lebih bagus terlihat seperti flu biasa. Ini menggambarkan tahap serokonversi artinya ada perubahan dari HIV (-) menjadi HIV (+). Kenapa harus dibuat terlihat berat? Ternyata supaya Taneus pulang kampung dan berobat di mantri di kampungnya. Jangan-jangan sakitnya Taneus bukanlah serokonversi tapi hanya sakit yang agak parah yang memaksanya harus berobat ke mantri di kampungnya. Apakah dari mantri itu justru sumber infeksi Taneus? Bisa juga. Karena tak terlihat si mantri menggunakan jarum yang baru saat menyuntik Taneus.

Kemudian setelah agak sehat Taneus kembali ke Wamena. Sayang (udah sayang yang ketiga kali neh..) waktu di kampung Taneus tidak diceritakan sempat bertemu dengan Demina kekasihnya. Taneus kembali bersekolah. Kemudian terjadi dialog antara Taneus dengan si gadis Merry di sebuah warung bakso. Taneus berterus terang kalau ia sudah punya calon di kampungnya. Merry cuma bisa marah-marah. Aduh Merry...kenapa terkesan murahan sekali? Sampai di sini saya bingung mau dibawa kemana lagi ceritanya ya kira-kira?

Situasi berubah tatkala penyakit Taneus menjadi terlihat agak parah. Taneus terpaksa berobat ke Rumah Sakit. Dokter (harus pakai orang Barat ya? Biar terkesan meyakinkan?) menyarankan untuk periksa sputum bersamaan dengan tes untuk HIV. Ini agak mengherankan karena prasangka dokter bahwa Taneus mengidap TB sekaligus HIV (+) terasa agak berlebihan. Kenapa tidak dilakukan pemeriksaan HIV saat terbukti TB pada Taneus positif? Menurut saya seorang dokter harus membuktikan dulu TB pada Taneus sebelum melakukan tes HIV. Toh pemeriksaan sputum hanya memakan waktu 2 hari dan pada saat Taneus mendapatkan hasil untuk TB-nya dan dinyatakan positif barulah dokter bisa melakukan pemeriksaan HIV pada Taneus. Anamnesis dokter tidak dilakukan dengan tepat (mudah-mudahan ini hanya di film ini saja ya Dok..) malah langsung mengajukan pemeriksaan TB dan HIV secara bersamaan. Peran konselor juga tidak digali lebih dalam. Siapa yang tahu faktor resiko apa saja yang ada pada Taneus? Padahal adanya faktor resiko merupakan syarat untuk dilakukan pemeriksaan HIV. Film juga tidak menceritakan bahwa Taneus mengambil hasil keesokan harinya, padahal jelas pemeriksaan untuk TB memakan waktu sedikitnya dua hari. Mungkin hal-hal ini bagi orang awam tidak mengganggu namun sebagai dokter yah.. jelas saya agak sedikit terganggu.

Taneus akhirnya tamat SMU. Kembali ke kampung dan menikah dengan Demina. Sayang (ini sayang yang keempat ya? Tell me if I’m wrong please!) pergumulan Taneus untuk memberitahukan atau tidak penyakitnya kepada orang tua dan istrinya tidak digali lebih dalam. Pada akhirnya Taneus memberitahukan pada istrinya. Namun istrinya tetap mencintainya dan tidak peduli apa sakit yang diderita Taneus (atau karena tidak tahu bahayanya?).

Cerita ini berakhir sedih dengan diawali kematian Demina. Kematiannya agak tragis (kalau nggak mau dibilang aneh..). Demina lagi kerja di ladang tiba-tiba terjatuh dan langsung mati (duh kacian deh..). Padahal adegan sebelumnya menggambarkan suasana kedua suami istri (Taneus dan Demina) sedang bercengkerama dengan bayi mereka dan kelihatannya tidak ada masalah. Narator kemudian menerangkan bahwa bayi mereka juga kemudian mati (mengherankan....) dan pada akhirnya kematian Taneus sendiri. Menurut saya adalah lebih baik kalau yang meninggal pertama adalah bayinya (karena biasanya jumlah virus sangat banyak pada awal-awal infeksi pada istrinya) kemudian karena kondisi setelah melahirkan yang belum stabil, istrinya (Demina) mulai sakit-sakit dan kemudian meninggal juga.

Cerita ini sebenarnya bisa berakhir gembira (kalau memang kita ingin memberi tahu ke masyarakat bahwa masih ada harapan) kalau Taneus tidak mati. Taneus langsung berobat, minum ARV secara teratur dan tetap hidup untuk membagikan kisahnya ke orang lain. Bahkan mungkin bisa diceritakan kalau Taneus kemudian menikah lagi dan istri yang baru itu HIV (-) dan mereka punya anak-anak yang juga HIV (-). Tapi kalau dibuat begini nanti mungkin agak jauh dari konteks Wamena kali ya?

Sebagai penutup ada dialog antara pendeta dengan jemaat di pekuburan (acting pendeta Nap boleh juga..). Diceritakan bahwa Taneus sempat bertobat dan sekarang ia sudah ada di kerajaan Allah. Ada pintu pertobatan yang terbuka bagi orang-orang yang mau berbalik menyembah Dia.

Akhirnya, saya cuma bisa katakan film ini sangat inspiratif. Malah menantang saya bisakah saya juga membuat film yang sebagus ini? Ke depannya saya yakin akan lebih banyak film yang diproduksi. Mungkin akan ada film yang berbahasa Lani saja tanpa bahasa Indonesia. Mungkin akan cerita yang lebih berkembang dengan lebih banyak dialog. Mungkin akan ada film yang berbicara tentang stigma dan diskriminasi. Mungkin..mungkin...dan mungkin. Hanya ”mungkin” yang bisa terucap kalau kita tidak pernah mau ambil bagian. Mari saudara! Ingat 5 jari? Cinta ODHA (kelingking), cinta keluarga (jari manis), kasih tahu orang lain (jari tengah), cinta Tuhan (telunjuk ke atas) dan selamatkan Papua (jempol sorong ke depan). Sekali lagi proficiat buat Tangan Peduli dan ABA Neitaken! Selamat Hari AIDS Sedunia 2007! Kasih sayang dan keteladanan semoga menjadi visi kita ke depan. (Willy Sitompul)

1 comment:

Anonymous said...

Gostei muito desse post e seu blog é muito interessante, vou passar por aqui sempre =) Depois dá uma passada lá no meu site, que é sobre o CresceNet, espero que goste. O endereço dele é http://www.provedorcrescenet.com . Um abraço.